Kamis, 24 April 2008

Manusia Tidak Mampu Menemukan Allah

KEBERADAAN manusia sebagai makhluk beragama penting kita pahami, supaya di tengah Kitab Kejadian 1: 27-28, dan Matius 22: 37 mengajak kita untuk menelusuri keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya dan beragama. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mengatur hubungan dengan sesama. Sebagai makhluk beragama, manusia diberi kemampuan untuk berelasi dengan Allah, dalam persekutuan yang utuh antara umat dengan penciptanya. Beragama merupakan kemampuan lahiriah yang diberikan Allah kepada manusia. Hal ini juga membedakan manusia sebagai ciptaan yang utama dengan binatang yang tidak punya kemampuan religius untuk beribadah kepada Sang Pencipta.

Namun kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan kerusakan pada sistem nilai manusia. Manusia sebagai makhluk beragama yang seharusnya tunduk kepada kebenaran, justru melawan kebenaran. Manusia yang seharusnya takluk kepada Allah kini tidak lagi tunduk seutuhnya, bahkan sebaliknya memanipulasi atau mengatur Allah dengan caranya yang disebut agama. Ada yang menjadikan agama hanya sekadar baju, dan tidak memberikan ruang dalam hati bagi Tuhan. Kita mengurung Tuhan dalam hidup kita, dan menginginkan agar DIA melakukan apa yang kita mau. Kita bukan hidup seperti apa yang Tuhan mau.

Agama berasal dari kata “a-gamos”, yang artinya “tidak kacau”. Jadi, agama secara umum sebetulnya menghindari kekacauan. Dengan beragama manusia menjadi makhluk yang tertib dan bermoral—kecuali kalau agama yang dianutnya memiliki dasar ajaran yang merusak, menyakiti dan menghancurkan. Ini biasanya disebut bidat (sekte). Namun pada hakekatnya, agama tidak pernah mengajarkan untuk merusak atau menimbulkan kekacauan. Tetapi sebagai ekses dari sebuah agama, kekerasan bisa muncul. Kalau melihat ekses dari suatu agama, jangan salahkan agamanya, sebab yang namanya ekses bisa ada dan terjadi pada agama apa pun. Ekstrimis bisa ada pada agama apa pun.

Sifat agama

Secara umum dapat dikatakan, agama punya beberapa sifat. Pertama, agama itu bersifat eksklusif. Kenapa? Karena agama merupakan sebuah keyakinan yang menciptakan sistem kepercayaan ke dalam (intern). Penganut yang eksklusif akan menolak segala sesuatu yang berbeda dengan keyakinannya. Di luar mereka dianggap sesat atau kacau. Jadi, agama sangat sulit menerima suatu realita perbedaan. Agama punya kecenderungan untuk menolak perbedaan. Inilah salah satu bentuk eksklusivitas agama.

Sifat kedua, radikal. Karenanya, agama itu akan mempertahankan diri dan menolak keras perbedaan agama, kalau perlu dengan cara radikal, menghancurkan. Sehingga muncullah wajah yang menakutkan dari agama, dan ini telah sering dibuktikan sejarah. Jadi, perdebatan atau pertikaian soal agama bisa membutuhkan waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin tidak akan pernah selesai. Ideologi (kenegaraan) kadang-kadang bisa ditengahi, tetapi kalau sudah menyangkut agama, sangat sulit, karena menyangkut keyakinan yang sangat mendalam.

Ketiga, agama juga disebut mistis. Agama tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Agama itu digambarkan sakral, tidak bisa diganggu gugat, karena keyakinan kadang kala tidak bisa dijelaskan berdasarkan ratio. Agama bersifat mistis karena memang mengan-dung sesuatu nuansa atau suasana yang misterius: hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hubungan ini tidak bisa dipegang atau dijangkau. Jadi, dari sifatnya agama secara umum menempatkan pengikutnya dalam kelompok, untuk bertarung membuktikan diri sebagai yang paling benar, dengan cara paling halus sampai cara paling kasar, tergantung persfektif sang pemimpin.

Lalu bagaimana agama dipandang dari kaca mata Kristen? Dalam Roma 3:11 dikatakan, “Tidak ada seorang pun yang berakal budi. Tidak ada seorang pun yang mencari Allah...” Alkitab mengajarkan kepada kita, sejatinya tidak ada orang yang mencari Allah, karena semua manusia sudah berdosa. Sebagai makhluk berdosa, manusia tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan Allah. Tidak ada manusia yang benar, seorang pun tidak. Manusia tidak punya kemampuan untuk mencari Allah yang suci dan sejati. Sehingga secara umum agama hanyalah suatu sistem di dalam keterbatasan. Sebagai sistem, dia mampu menciptakan kebaikan, moral. Manusia yang makin berbudaya, ditambah kombinasi kesadaran, pertumbuhan di dalam kebutuhan akan lingkungan sosial yang makin dewasa, ditambah ilmu pe-ngetahuan dan pengalaman-pe-ngalaman, membuat manusia itu berpikir untuk menciptakan tatanan kehidupan yang lebih dan lebih baik lagi.

Agama, dalam kaca mata Kristen, dapat dilihat dalam Yohanes 15: 16. Tuhan berkata, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu...”. Artinya manusia tidak pernah punya inisiatif untuk mencari dan memilih Tuhan, tetapi justru Tuhanlah yang berinisiatif memilih dan menemukan manusia. Jika penganut agama secara umum berkata, “Engkaulah Tuhanku”, maka pengikut Kristus justru mendapat anugerah: dipilih menjadi murid Tuhan.

Di sinilah kita merasakan makna kekristenan yang dalam itu, sehingga kekristrenan bukan sekadar agama dalam pengertian secara umum. Kekristenan tidak bisa menjadi sama di dalam pemahaman agama secara umum. Kekristenan harus diyakini sebagai panggilan Kristus kepada orang berdosa, sehingga oleh kemurahan Kristus, orang berdosa mendapat penebusan, sehingga disebut Kristen: murid Kristus, atau Kristus kecil.

Jadi, jikalau Kristen dipandang sebagai agama, maka jangan lupa Kristus adalah Allah yang menyatakan diri, bukan dinyatakan oleh umat. Jadi, Kristen adalah sebuah kesaksian Alkitab, bukan sebuah sistematika agama. Kekristenan hanya berpegang pada apa yang dikatakan Alkitab. Apa yang dikatakan dalam Alkitab, itu sudah cukup dan amin.

Tidak ada komentar: