Rabu, 04 Juni 2008

Pendekatan Holistik Meredam Budaya Kekerasan

Terorisme dan kekerasan massa adalah salah satu tema utama dalam wacana global pasca-Perang Dingin. Kegiatan teror dan kekerasan itu kerap kali disandingkan dengan peningkatan religiositas. Singkatnya, religiositas didakwa sebagai biang terorisme dan kekerasan sosial. Lalu dibuatlah serangkaian dialog antar-agama atau antar-iman (interfaith dialogue).

Para peneliti dan ilmuan sosial mutakhir menemukan fakta berbeda yang menjadikan kesimpulan di atas semakin menjadi kuno dan klasik. Temuan mutakhir yang berkembang dalam ranah penelitian sosial saat ini menyimpulkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor, bahkan bukan faktor utama, dalam kegiatan teror dan kekerasan sosial. Agama kerapkali hanya menjadi, meminjam istilah Clifford Geertz, primordial sentiment dalam setiap aksi kekerasan. Faktor yang lebih dominan dalam hal ini adalah fenomena atau kondisi sosial itu sendiri.

Kemunculan terorisme dan kekerasan memiliki watak yang cukup berbeda dengan perkembangan religiositas. Religiositas berkembang secara luas di semua belahan dunia, sementara terorisme dan kekerasan muncul hanya di wilayah-wilayah dan waktu tertentu. Jika terorisme dan kekerasan adalah ekspresi religiositas, maka ia akan muncul di semua wilayah dimana religiositas berkembang pesat.

Pengalaman sejarah membuktikan bahwa terorisme dan kekerasan hanya muncul di wilayah-wilayah yang secara sosiologis sedang berada dalam kondisi bergolak. Teror dan kekerasan sosial yang terjadi di Bosnia dan Serbia, 1990-an, adalah buah dari instabilitas sosial di negara-negara pecahan Yugoslavia itu. Kekerasan sosial yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama di Irak juga buah dari instabilitas sosial yang muncul pasca jatuhnya rezim Saddam Husein. Terorisme dan kerusuhan sosial bernuansa agama mulai marak di Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang menandai instabilitas sosial.

Instabilitas selalu menjadi kata kunci dalam kemunculan kekerasan sosial dan terorisme, setidaknya pada sebagian besar kasus. Ini membuktikan bahwa instabilitas sosiallah yang menjadi faktor utama, bukan faktor lain seperti menguatnya semangat religiositas. Instabilitas sosial menandai sebuah masa di mana masyarakat mencoba mempertanyakan kembali mengenai bentuk negara.

Setelah Yugoslavia dan Uni Soviet pecah, masyarakat di bekas negara itu bergumul dalam perumusan bentuk dan ideologi negara.
Itu juga yang terjadi Irak dan Indonesia. Masalah ideologi dan bentuk negara yang sebelumnya diterima secara taken for granted kini dipertanyakan. Pada saat-saat seperti itulah, mobilisasi sosial terbuka lebar. Masyarakat kemudian tertuntut untuk memikirkan kembali arah pembentukan bangsanya. Kekuatan-kekuatan yang sebelumnya tidak bicara kini bangkit menggalang massa. Polarisasi ideologi yang memang selalu potensial ada dalam masyarakat menjadi semakin tajam dan potensial konflik. Inilah yang Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, sebut sebagai renegosiasi institusional.

Bertrand menemukan bahwa untuk kasus di Indonesia, kekerasan sosial memuncak pada masa-masa transisi. Setidaknya ada tiga masa paling krusial di mana kekerasan sosial memuncak di sini.

Pertama, masa kemerdekaan. Pada masa inilah kekerasan itu begitu marak dan berlangsung cukup lama. Pada masa itu pulalah terjadi begitu banyak pemberontakan yang menelan banyak korban. Kekerasan terhadap etnis Tionghoa dan minoritas lainnya menemukan titik nadir yang paling memprihatinkan pada saat itu.

Kedua, pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Masa ini terkenal dengan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang disebut sebagai massa pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu, etnis Tionghoa dan kaum minoritas kembali menjadi sasaran amuk massa yang brutal.

Ketiga, kekerasan sosial marak kembali ketika masa reformasi bergulir. Lagi-lagi, etnis Tionghoa dan minoritas lainnya menjadi korban kekerasan.

Berangkat dari pandangan di atas, menjadi lebih jelas bahwa dialog antaragama tidak cukup memadai bagi penyelesaian kekerasan dan terorisme yang marak di lingkungan agama. Bukan berarti dialog antaragama tidak penting dilanjutkan, tetapi jangan terlalu banyak berharap kepada pendekatan semacam ini. Setidaknya, ada dua cacat konseptual yang muncul dari pengandaian bahwa dialog antaragama akan mampu meredam kekerasan dan terorisme.

Pengakuan terhadap Perbedaan
Pertama, dialog antaragama, pada praktiknya, selalu dilakukan oleh para pemimpin agama. Dalam hal ini, persoalan agama diandaikan bisa diselesaikan secara politis-elitis. Yang terlibat dalam dialog hanyalah pemimpin organisasi agama tertentu, paling tidak tokoh agama di wilayah-wilayah konflik.
Nyatanya, konflik yang bernuansa agama tidak dilakukan oleh para elite, tetapi masyarakat bawah yang kadang-kadang tidak bisa dikatakan cukup religius. Konflik yang terjadi di Ambon dan Poso, misalnya, sebetulnya tidak dilatarbelakangi oleh persoalan agama, tetapi persoalan sosial kemasyarakatan yang sangat “duniawi,” seperti kesenjangan ekonomi dan kekerasan umum biasa.

Kedua, dialog antaragama merupakan refleksi dari pemahaman monistik yang mengandaikan bahwa kebenaran agama-agama adalah satu, yang oleh karenanya bisa dicari titik temunya. Pandangan ini sungguh semacam pelecehan terhadap agama-agama, sebab klaim kebenaran mereka tidak diakui.
Agama-agama diandaikan masih terjebak dalam batas-batas kebenaran tampakan yang relatif (eksoterik), mereka belum sampai pada kebenaran hakiki (esoterik). Pandangan seperti itu menentang pluralitas nilai dalam semua agama. Setiap agama memiliki nilai yang berbeda. Dialog antar-agama, jikapun harus dilakukan, seharusnya tidak dengan tendensi penyatuan, melainkan pengakuan terhadap perbedaan tersebut. Upaya mencari titik temu agama-agama bahkan bisa menimbulkan bahaya totalitarian.

Dalam hal ini, semua pendekatan harus coba dilakukan. Yang lebih penting adalah penegakan hukum harus dijalankan. Tegaknya hukum akan berdampak positif terhadap adanya rasa aman setiap kelompok masyarakat.
Kerapkali konflik dan kekerasan muncul karena adanya rasa tidak aman dan tidak adanya kepastian hukum. Mereka tidak percaya kepada aparat hukum untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di masyarakat. Akibatnya, mereka menyelesaikan sendiri persoalan sosialnya dengan cara yang melanggar hukum itu sendiri.

Kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi juga harus diatasi. Bukan berarti harus membatasi ruang aktivitas bagi sebagian kelompok masyarakat, melainkan memberi ruang aktivitas ekonomi bagi mereka yang selama ini terpinggirkan, baik oleh sistem maupun kapabilitas individual. Negara harus bertanggung jawab menjaga kebebasan setiap individu dalam beraktivitas dan memberi dukungan bagi mereka yang tidak mampu.

Jika pendekatan yang bersifat holistik ini tidak dilakukan, maka kekerasan bahkan terorisme tetap akan menjadi pemandangan sehari-hari. Kekerasan dan terorisme tidak pernah ada dalam kamus agama. Tetapi ia bisa muncul berpayung agama, jika kondisi sosial memberinya kesempatan.

Tidak ada komentar: