Jumat, 06 Juni 2008

KEBEBASAN BEREKSPRESI MEMERLUKAN ETIKA

Aksi pornografi dan pornoaksi di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini telah mencederai moral anak bangsa. Namun, tetap saja sebagaian kalangan menolak RUU APP dengan alasan menghambat kebebasan berekspresi. Sangat ironis, sebagai bangsa yang masih memegang teguh nilai-nilai moral, menuntut adanya keleluasaan dalam aksi pornografi dan pornoaksi. Negara maju seperti Amerika Serikat pun sangat khawatir dengan eksploitasi pornografi ini.

Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia mengatur soal pornografi dan pornoaksi? Seberapa jauh UU Anti Pornografi diperlukan? Untuk membahas lebih jauh tentang perlunya pengaturan pornografi ini, Tim CMM mewawancarai DR Ibnu Hamad, pakar komunikasi yang juga sebagai dosen program pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Petikannya:

Akhir-akhir ini sejalan dengan pro-kontra RUU APP, masalah pornografi dan pornoaksi banyak diperdebatkan, bagaimana komentar Anda?

Hal yang positif dari pro-kontra itu adalah berkenaan dengan RUU APP-nya, bukan pada pornografi dan pornoaksi-nya. Kita sama-sama tahu, di tengah masyarakat ada yang setuju dengan RUU APP dan ada yang tak setuju dengan RUU APP karena isinya dianggap belum memadai untuk mengatur pornografi dan pornoaksi. Tapi, saya melihat bahwa yang pro maupun kontra terhadap RUU APP tidak setuju dengan pornografi dan pornoaksi. Jadi dalam subtansi sudah sama. Ini yang kita patut syukuri.

Memang tampaknya begitu. Tapi terutama yang kontra menganggap RUU APP itu akan menghambat kebebasan ekspresi. Apakah memang demikian?

Sempit sekali pemikiran seperti itu. Apakah kebebasan ekspresi itu identik dengan pornografi dan pornoaksi? Apakah kurang atraktif kalau berekspresi tidak disertai dengan eksploitasi seks? Bukankah kebebasan ekspresi yang memelihara sopan santun juga tetap diminati jika buah karyanya itu berkualitas?

Sebagai perbandingan, seperti apakah aktivitas pornografi dan pornoaksi di AS yang sangat terkenal dengan kebebasan ekspresinya itu? Apakah di sana tak ada pembatasan kegiatan pornografi?

Pada dasarnya masyarakat AS sendiri khawatir dengan eksploitasi pornografi ini. Itu tercermin dari banyaknya kajian tentang dampak pornografi. Salah satunya uji klinis yang dilakukan Victor B. Cline, dimuat dalam majalah World & I, December 1992 yang menunjukkan bahwa akses pornografi memberi dampak yang eskalatif. Bila seseorang suka mengakses pornografi, maka ia akan ketagihan untuk melihatnya lagi dan lagi sehingga memberi dampak kebiasaan atau habit. Selanjutnya, jika ia sudah biasa mengakses pornografi makan ia akan berusaha meningkatkan usaha mengaksesnya secara lebih lagi dalam bentuk jenis dan waktu mengakses. Ini yang disebut eskalasi.

Kemudian bagi mereka yang sudah ketagihan dan senantiasa meningkatkan usahanya dalam mengakses pornografi maka ia akan mengidap kondisi kejiwaan yang disebut desensitisasi, yaitu kehilangan rasa malu dalam pergaulan sosial mereka dalam hal sex. Kalau telah kehilangan rasa malu dalam pergaulan sosial berkenaan dengan sex, berpotensi besar untuk melakukan hubungan sex dengan orang lain entah itu dengan teman, saudara, maupun pelacur.

Studi lain yang dilakukan Jane Brown dari Universitas North Carolina juga menunjukkan hal yang sama. Bahwa akses terhadap media porno memberi pengaruh yang signifikan terhadap perilaku seks bebas, terutama di kalangan remaja. Menurut Brown, remaja-remaja yang banyak mengakses suguhan seksual dari media cenderung melakukan aktivitas seks bebas lebih tinggi dibandingkan remaja yang lebih sedikit melihat eksploitasi seks. .

Umumnya studi-studi seperti ini juga menunjukkan mengenai pengaruh pornografi terhadap seks bebas tersebut, yaitu hamil di luar nikah, aborsi, dan penyakit menular seks. Untuk masalah-masalah seperti ini, Amerika Serikat merupakan negara dengan sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding negara-negara maju lainnya.

Tampaknya atas dasar kenyataan seperti itulah kemudian pemerintah AS mengeluarkan undang-undang Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002 yang bermaksud melindungi anak-anak dari gangguan pornografi. Ini artinya kebebasan ekspresi itu ada batas-batasnya, bahkan di negara yang terkenal dengan liberal seperti AS.

Tapi, bukankah itu tak menghilangkan sama sekali pornografi di AS. Bahkan dalam hal-hal tertentu seperti ada kebebasan sebagaimana ada aturan “hanya untuk usia 18 tahun ke atas”?

Memang harus diingat bahwa Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002 bukan untuk melarang pornografi sama sekali, melainkan untuk melindungi anak-anak dari bahaya pornografi, termasuk pornografi anak-anak atau child pornography. Itupun sempat menimbulkan pro-kontra.

Di Barat, usia di bawah 18 itu memang dianggap masih anak-anak atau remaja. Belum dewasa. Sementara yang sudah berusia 18 dianggap dewasa dan diasumsikan sudah bisa bertanggung-jawab. Sehingga diperbolehkan mengakses pornografi. Lagi di sana kesadaran hukum masyarakatnya sudah relatif lebih baik.

Bagaimana halnya dengan RUU APP, apakah harus bersifat melarang sama sekali atau bersifat melindungi atau tetap memberi peluang bagi mereka yang usia 18 tahun ke atas?

Indonesia bukanlah Barat. Tak ada jaminan jika pornografi yang ditujukan untuk usia 18 tidak dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja. Kesadaran hukum masyarakat kita masih lemah. Karena itu sebaiknya pornografi dilarang saja, kecuali yang dianggap perlu secara etika dan hukum seperti untuk kepentingan ilmiah. Biarlah yang merasa sudah dewasa mengakses ke internet saja. Itupun jika memungkinkan pemerintah mengatur pula peredaran pornografi di internet dengan memblokir situs-situs porno tersebut dari ruang angkasa Republik Indonesia.

Tidak ada komentar: